Monday, May 5, 2014
Status Hukum Kewarganegaraan Hasil Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran telah merambah ke-seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survey yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof. Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran. Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain.
Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No. 1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Asas Ius Soli; Asas yang menyatakan bahawa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat dimana orang tersebut dilahirkan. Asas Ius Sanguinis; Asas yang menyatakan bahwa kewarganegaraan sesorang ditentukan beradasarkan keturunan dari orang tersebut.
Selain dari sisi kelahiran, penentuan kewarganegaraan dapat didasarkan pada aspek perkawinan yang mencakupa asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas persamaan hukum didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah suatu ikatan yang tidak terpecahkan sebagai inti dari masyarakat. Dalam menyelenggarakan kehidupan bersama, suami istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganegaraan. Berdasarkan asas ini diusahakan ststus kewarganegaraan suami dan istri adalah sama dan satu.
Penentuan kewarganegaraan yang berbeda-beda oleh setiap negara dapat menciptakan problem kewarganegaraan bagi seorang warga. Secara ringkas problem kewarganegaraan adalah munculnya apatride dan bipatride. Appatride adalah istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Bipatride adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (rangkap dua). Bahkan dapat muncul multipatride yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang banyak (lebih dari 2).
Adapun Undang-Undang yang mengatur tentang warga negara adalah Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pewarganegaraan adalah tatacara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan. Dalam Undang-Undang dinyatakan bahwa kewarganegaraan Republik Indonesia dapat juga diperoleh memalului pewarganegaraan.
Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon juika memenuhi persyaratan sebagai berikut: telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, sehat jasmani dan rohani, dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun, jika dengan memperoleh kewarganegaraan Indonesia, tidak menjadi kewarganegaraan ganda, mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap, membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Hilangnya Kewarganegaraan Indonesia diantaranya; memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri, tidak menolak atau melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu, dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan Republik Indonesia tidak menjadi tanpa kewarganegaraan, masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden, secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undngan hanya dapat dijabat oleh warga negara Indonesia, secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut, tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yangbersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing, mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya, bertempat tinggal diluar wilayah negara republic Indonesia selama 5 (liama0 tahun berturut-turut bukan dalam rangaka dinas negara, tanpa alas an yang sah dan dengan sngaja tidak menyatakan keinginannya untuk tetap menjadi Warga Negara Indonedia sebelum jangka waktu 5(liama) tahun itu berakhir dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernytaaan ingin tetap menjadi warga Negara Indonesia kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal perwakilan RI tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan tidak menjadi tanpa kewarganegaraan.
POSISI DAN FUNGSI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
A. PANCASILA
SEBAGAI DASAR NEGARA
Pancasila sebagai falsfah negara (philosohische
gronslag) dari negara, ideology negara, dan statside. Dalam hal ini Pancasila
digunakan sebagai dasar mengatur pemerintahan atau penyenggaraan negara. Hal
ini sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945, yang dengan jelas menyatakan
“……..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
udang-undang dasar negara Indonesia yang terbentuk dalam suat susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada…..”
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara Indonesia mempunyai beberapa
fungsi pokok, yaitu:
1. Pancasila dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD
1945 dan yang pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum
atau sumber tertib hukum. Hal ini tentang tertuang dalam ketetapan MRP No.
XX/MPRS/1966 dan ketetapan MPR No. V/MP/1973 serta ketetapan No. IX/MPR/1978.
merupakan pengertian yuridis ketatanegaraan
2. Pancasila sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada
umumnya (merupakan pengertian Pancasila yang bersifat sosiologis).
3. Pancasila sebagai pengatur tingkah laku pribadi dan
cara-cara dalam mencari kebenaran (merupakan pengertian Pancasila yang bersifat
etis dan filosofis)
B. PANCASILA
SEBAGAI DASAR FILSAFAT NEGARA
Sebagai filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia,
Pancasila telah menjadi obyek aneka kajian filsafat. Antara lain terkenallah
temuan Notonagoro dalam kajian filsafat hukum, bahwa Pancasila adalah sumber
dari segala sumber hukum di Indonesia. Sekalipun nyata bobot dan latar belakang
yang bersifat politis, Pancasila telah dinyatakan dalam GBHN 1983 sebagai
“satu-satunya azas” dalam hidup bermasyarakat dan bernegara. Tercatat ada pula
sejumlah naskah tentang Pancasila dalam perspektif suatu agama karena selain
unsur-unsur lokal (”milik dan ciri khas bangsa Indonesia”) diakui adanya unsur
universal yang biasanya diklim ada dalam setiap agama. Namun rasanya lebih
tepat untuk melihat Pancasila sebagai obyek kajian filsafat politik, yang
berbicara mengenai kehidupan bersama manusia menurut pertimbangan epistemologis
yang bertolak dari urut-urutan pemahaman (”ordo cognoscendi”), dan bukan
bertolak dari urut-urutan logis (”ordo essendi”) yang menempatkan Allah sebagai
prioritas utama.
Pancasila sebagai falsafah kategori pertama adalah
perwujudan bentuk bangunan yang diangan-angankan dalam penggambaran di atas
kertas, dan Pancasila sebagai falsafah. Kategori yang kedua adalah adanya
lokasi serta tingkat ketersediaan bahan-bahan untuk merealisasikan bangunan
yang dicita-citakan. Pancasila sebagai falsafah yang dimaksudkan adalah tiap
sila di dalamnya yang oleh karena perkembangan sejarah masih tetap berfungsi
sebagai landasan ideologis, maupun nilai-nilai filsafat yang dapat kita
masukkan kedalamnya adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila Persatuan
Indonesia.
Pancasila tidak dapat diragukan lagi dalam naskah
Pembukaan UUD 1945 dan dalam kata “Bhinneka Tunggal Ika” dalam lambang negara
Republik Indonesia. Dalam naskah Pembukaan UUD 1945 itu, Pancasila menjadi
“defining characteristics” = pernyataan jati diri bangsa = cita-cita atau
tantangan yang ingin diwujudkan = hakekat berdalam dari bangsa Indonesia. Dalam
jati diri ada unsur kepribadian, unsur keunikan dan unsur identitas diri.
Sesungguhnya dalam kata “Bhinneka Tunggal Ika”
terdapat isyarat utama untuk mendapatkan informasi tentang arti Pancasila, dan
kunci bagi kegiatan merumuskan muatan filsafat yang terdapat dalam Pancasila.
Dalam konteks itu dapatlah diidentifikasikan mana yang bernilai universifal dan
mana yang bersifat lokal = ciri khas bangsa Indonesia. Secara harafiah
“Bhinneka Tunggal Ika” identik dengan “E Pluribus Umum” pada lambang negara
Amerika Serikat. Demikian pula dokumen Pembukaan UUD 1945 memiliki bobot sama
dengan “Declaration of Independence” negara tersebut. Suatu kajian atas
Pancasila dalam kacamata filsafat tentang manusia menurut aliran
eksistensialisme disumbangkan oleh N Driyarkara. Menurut Driyarkara, keberadaan
manusia senantiasa bersifat ada-bersama manusia lain. Oleh karena itu rumusan
filsafat dari Pancasila adalah sebagai berikut:
Aku manusia mengakui bahwa adaku itu merupakan
ada-bersama-dalam-ikatan-cintakasih (”liebendes Miteinadersein”) dengan
sesamaku. Perwudjudan sikap cintakasih dengan sesama
manusia itu disebut “Perikemanusiaan yang adil dan beradab”.
Perikemanusiaan itu harus kujalankan dalam
bersama-sama menciptakan, memiliki dan menggunakan barang-barang yang berguna
sebagai syarat-syarat, alat-alat dan perlengkapan hidup. Penjelmaan dari perikemanusiaan ini disebut “keadilan
sosial”.
Perikemanusiaan itu harus kulakukan juga dalam
memasyarakat. Memasyarakat berarti mengadakan kesatuan karya dan agar kesatuan
karya itu betul-betul merupakan pelaksanaan dari perikemanusiaan, setiap
anggota harus dihormati dan diterima sebagai pribadi yang sama haknya. Itulah demokrasi = “kerakyatan yang dipimpin …”.
Perikemanusiaan itu harus juga kulakukan dalam
hubunganku dengan sesamaku yang oleh perjalanan sejarah, keadaan tempat,
keturunan, kebudayaan dan adat istiadat, telah menjadikan aku manusia konkrit
dalam perasaan, semangat dan cara berfikir.Itulah
sila kebangsaan atau “persatuan Indonesia”.
Selanjutnya aku meyakini bahwa adaku itu ada-bersama,
ada-terhubung, serba-tersokong, serba tergantung. Adaku tidak sempurna, tidak
atas kekuatanku sendiri. Adaku bukan sumber dari adaku. Yang menjadi sumber
adaku hanyalah Ada-Yang-Mutlak, Sang Maha Ada, Pribadi (Dhat) yang
mahasempurna, Tuhan yang Maha Esa.Itulah dasar bagi sila
pertama: “Ketuhanan yang Maha Esa”.
C. NILAI
LUHUR BANGSA
Dalam menjalankan kehidupan berbangsa diperlukan
adanya pelaksanaan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, agar
nilai norma dan sikap yang dijabarkan benar-benar menjadi bagian yang utuh dan
dapat menyatu dengan kepribadian setiap manusia Indonesia, sehingga dapat
mengatur dan memberi arah kepada tingkah laku dan tidak tanduk manusia itu
sendiri.
Pancasila dibahas, dirumuskan dan disepakati sebagai
dasar dan tujuan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setiap
gerak, arah dan cara kita juga harus senantiasa dijiwai oleh Pancasila.
Pancasila yang bulat dan utuh akan memberikan kita keyakinan kepada rakyat dan
bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas
keserasian dan keselarasan serta keseimbangan. Baik dalam hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam maupun
dalam mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah.Bangsa kita tidak akan bisa maju
jika kita sendiri belum bisa memahami dan dapat memecahkan watak dan moral
manusia Indonesia sekarang ini, antara lain:
1. Hipokrit; senang berpura-pura, lain dimuka, lain
dibelakang. Serta menyembunyikan yang dikehendaki karena takut ganjaran
yang merugikan dirinya.
2. Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatan,
atau sering memindahkan tanggung jawab tentang suatu kesalahan dan kegagalan
kepada orang lain.
3. Berjiwa feodalis senang memperhamba pihak yang lemah,
senang dipuji, dan tidak suka dikritik.
4. Mempunyai watak yang lemah serta kuat mempertahankan
keyakinannya.
5. Kurang sabar, dengki, cemburu.
6. Melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme
Karena itu perlu didorong dan dituntun oleh pandangan
hidup yang luhur sedini mungkin, sebab tantangan dimasa depan akan semakin
sulit dan semakin berat yang menuntut kita untuk meningkatkan sumber daya
manusia tanpa meninggalkan nilai luhur-luhur dari ideologi bangsa kita yaitu
PANCASILA.
Pancasila sebagai moral bangsa sangat dibutuhkan, sebab Pancasila mempunyai fungsi meliputi:
Pancasila sebagai moral bangsa sangat dibutuhkan, sebab Pancasila mempunyai fungsi meliputi:
1. Keharmonisan hubungan sosial, karena moral memberikan
landasan kepercayaan kepada sesama, percaya atas itikad baik setiap kebaikan
orang.
2. Menjamin landasan kesabaran untuk dapat bertahan
terhadap naluri dan keinginan nafsu memberi daya tahan dalam menunda dorongan
rendah yang mengancam harkat dan martabat.
3. Menjamin kebahagiaaan rohani dan jasmani.
4. Memberikan motivasi dalam setiap sikap dan tidakan
manusia untuk berbuat kebaikan dan kebajikan yang berlandaskan moral.
5. Memberikan wawasan masa depan, baik konsekuensi maupun
sangsi sosial terutama yang berkaitan dengan tanggung jawab terhadap Tuhan
dalam kehidupan akhirat.
Pengamalan semua sila Pancasila secara serasi dan
sebagai kesatuan yang utuh, yaitu:
1. Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang antara
lain mencakup tanggung jawab bersama dari semua golongan beragama dan
kepercayaan terhadap Tuhan YME dan meletakkan landasan spritual, moral dan
etika yang kukuh bagi moral bangsa.
2. Pengamalan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
yaitu mencakup peningkatan martabat serta hak dan kewajiban asasi manusia,
penghapusan penjajahan, kesengsaraan dan ketidak adilan dari muka bumi.
3. Pengamalan sila Persatuan Indonesia, mencakup
pembinaan bangsa di kehidupan manusia, masyarakat, bangsa dan negara.
Sehingga rasa kesetiakawanan semakin kuat dalam rangka memperkukuh persatuan
dan kesatuan bangsa.
4. Pengamalan sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, yaitu mencakup upaya makin
menumbuhkan dan mengembangkan sistem politik demokrasi yang makin mampu
memelihara stabilitas nasional yang dinamis.
5. Pengamalan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia, yaitu mencakut upaya mengembangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
yang dikaitkan dengan pemerataan pembangunan menuju terciptanya kemakmuran yang
berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kita sebagai bangsa Indonesia, hendaknya dapat
menjalankan nilai-nilai dalam Pancasila secara seutuhnya. Jika kita sudah
menjalankannya, mungkin tidak akan ada lagi pertikaian antar sesama, seperti
yang kita lihat akhir-akhir ini.
D. KEPRIBADIAN BANGSA
Sebagai bangsa Indonesia, kita berkeyakinan bahwa
pancasila yang kini menjadi dasar Negara, adalah falsafah Negara, pandangan
hidup dan sebagai jiwa bangsa.
Pancasila yang menjadi dasar Negara sebagai mana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dapat dijadikan dasar dalam motivasi dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk mencapai tujuan nasional, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pancasila sebagai pedoman dan pegangan dalam pembangunan bangsa dan Negara agar dapat berdiri dengan kokoh. Selain itu, pancasila sabagai identitas diri bangsa akan terus melekat pada di jiwa bangsa Indonesia. Pancasila bukan hanya di gali dari masa lampau atau di jadikan kepribadian bangsa waktu itu, tetatapi juga diidealkan sebagai kepribadian bangsa sepanjang masa.
Pancasila yang menjadi dasar Negara sebagai mana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dapat dijadikan dasar dalam motivasi dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, untuk mencapai tujuan nasional, yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan berbangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pancasila sebagai pedoman dan pegangan dalam pembangunan bangsa dan Negara agar dapat berdiri dengan kokoh. Selain itu, pancasila sabagai identitas diri bangsa akan terus melekat pada di jiwa bangsa Indonesia. Pancasila bukan hanya di gali dari masa lampau atau di jadikan kepribadian bangsa waktu itu, tetatapi juga diidealkan sebagai kepribadian bangsa sepanjang masa.
E. SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM
Upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai adalah
dijadikannya nilai nilai dasar menjadi sumber bagi penyusunan norma hukum di
Indonesia. Operasionalisasi dari nilai dasar pancasila itu adalah dijadikannya pancasila
sebagai norma dasar bagi penyusunan norma hukum di Indonesia. Negara Indonesia
memiliki hukum nasional yang merupakan satu kesatuan sistem hukum. Sistem hukum
Indonesia itu bersumber dan berdasar pada pancasila sebagai norma dasar
bernegara. Pancasila berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar) atau
staatfundamentalnorm (norma fondamental negara) dalam jenjang norma hukum di
Indonesia.
Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila.
Sistem hukum di Indonesia membentuk tata urutan peraturan perundang-undangan.
Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan
perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan. Pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan kedudukannya sebagai dasar (filosofis) negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Alinea IV.
Nilai-nilai pancasila selanjutnya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangam yang ada. Perundang-undangan, ketetapan, keputusan, kebijaksanaan pemerintah, program-program pembangunan, dan peraturan-peraturan lain pada hakikatnya merupakan nilai instrumental sebagai penjabaran dari nilai-nilai dasar pancasila.
Sistem hukum di Indonesia membentuk tata urutan peraturan perundang-undangan.
Tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam ketetapan MPR
No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan
perundang-undangan juga menyebutkan adanya jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan. Pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Hal ini sesuai dengan kedudukannya sebagai dasar (filosofis) negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 Alinea IV.
F. IDEOLOGI NEGARA
Sebagai suatu ideologi bangsa dan negara Indonesia
maka Pancasila pada hakekatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan
atau pemikiran seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain
di dunia, namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai
kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat
Indonesia sebelum membentuk negara, dengan lain perkataan unsur-unsur yang
merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup
Masyrakat sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kuasa materialis (asal bahan)
Pancasila. Unsur- unsur Pancasila tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan
okeh para pendiri negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar negara
dan ideologi bangsa negara Indonesia. Dengan demikian Pancasila sebagai
ideologi bangsa dan negara Indonesia berakar pada pandangan hidup dan budaya
bangsa dan bukannya mengangkat atau mengambil ideology dari bangsa lain. Selain
itu Pancasila juga bukan hanya merupakan ide-ide atau perenungan dari seseorang
saja yang hanya memperjuangkan suatu kelompok atau golongan tertentu, melainkan
Pancasila berasal dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa sehingga Pancasila
pada hake katnya untuk seluruh lapisan serta unsur-unsur bangsa secara
komperensif. Oleh karena ciri khas Pancasila itu maka memiliki kesesuaian
dengan bangsa Indonesia.
G. PERTUMBUHAN BUDAYA MANUSIA DAN BANGSA
INDONESIA
Keberagaman menjamin kehormatan antarmanusia di atas
perbedaan, dari seluruh prinsip ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia, baik
ilmu ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Hak asasi manusia memperoleh tempat
terhormat di dunia, hak memperoleh kehidupan, kebebasan dan kebahagiaan yang
dirumuskan oleh MPR, dan ketika amandemen UUD `45, pasal 28, ditambah menjadi
10 ayat dengan memasukkan substansi hak pencapaian tujuan di dalam pembukaan
UUD `45. Pancasila yang digali dan dirumuskan para pendiri bangsa ini adalah
sebuah rasionalitas yang telah teruji. Pancasila adalah rasionalitas kita
sebagai sebuah bangsa yang majemuk, yang multi agama, multi bahasa, multi
budaya, dan multi ras yang bernama Indonesia.
Dalam sila Persatuan Indonesia terkandung nilai bahwa
negara adalah sebagai penjelmaan sifat kodrat manuasia monodualis yaitu sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial. Negara adalah suatu persekutuan hidup
bersama diantara elemen-elemen yang membentuk negara yang berupa, suku, ras,
kelompok, golongan maupun kelompok agama. Oleh karena perbedaan merupakan
bawaan kodrat manusia dan juga merupakan ciri khas elemen-elemen yang membentuk
negara. Konsekuensinya negara adalah beranekaragam tetapi satu, mengikatkan
diri dalam suatu persatuan yang diliukiskan dalam Bhineka Tunggal Ika.
Perbedaan bukan untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan
diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam
kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Negara mengatasi segala paham golongan, etnis, suku,
ras, indvidu, maupun golongan agama. Mengatasi dalam arti memberikan wahana
atas tercapainya harkat dan martabat seluruh warganya. Negara memberikan
kebebasan atas individu, golongan, suku, ras, maupun golongan agama untuk
merealisasikan seluruh potensinya dalam kehidupan bersama yang bersifat
integral. Oleh karena itu tujuan negara dirumuskan untuk melindungi segenap
warganya dan seluruh tumpah darahnya, memajukan kesejahteraan umum
(kesejahteraan seluruh warganya) mencerdaskan kehidupan warganya serta dalam
kaitannya dengan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia untuk mewujudkan
suatu ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kebinekaan yang kita miliki harus dijaga sebaik
mungkin. Kebhinekaan yang kita inginkan adalah kebhinekaan yang bermartabat,
yang berdiri tegak di atas moral dan etika bangsa kita sesuai dengan keragaman
budaya kita sendiri. Untuk menjaga kebhinekaan yang bermartabat itulah, maka
berbagai hal yang mengancam kebhinekaan harus ditolak, pada saat yang sama
segala sesuatu yang mengancam moral kebhinekaan harus diberantas. Karena
kebhinekaan yang bermatabat di atas moral bangsa yang kuat pastilah menjunjung
eksistensi dan martabat manusia berbeda.
Subscribe to:
Posts (Atom)