BERDIRINYA GAPI
Perkembangan dari Gerakan Nasional setelah gagalnya
Petisi Sutarjo adalah dibentuknya GAPI yang merupakan organisasi hasil
kerjasama dari partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang ada di
Indonesia. Sebenarnya Central Comite Petisi Sutarjo, setelah terjadi penolakan
terhadap Petisi Sutarjo oleh Kerajaan Belanda pada 16 November 1938, ingin
membuat suatu konferensi yang ditujukan kepada Pengurus Besar partai politik
dan organisasi di Indonesia yang isinya menyesali cara-cara penolakan atas
Petisi Sutarjo dan mengajak seluruh partai-partai untuk menentukan sikap atas
penolakan dari Petisi Sutarjo. Sejatinya konferensi itu akan diadakan di
Jakarta pada 27-29 Mei 1939, tapi akhirnya gagal karena beberapa partai politik
sudah berencana melakukan hal serupa, yaitu sebuah Nationale Concrentratie yang
kemudian dikenal dengan nama Gabungan Politik Indonesia atau GAPI.
GAPI sendiri berdiri pada 21 Mei 1939 dalam suatu rapat
pendirian konsentrasi nasional yang diadakan di Jakarta. Ada beberapa alasan
mengapa dibentuknya GAPI, yaitu kegagalan dari Petisi Sutarjo, adanya masalah internasinal
dengan munculnya Fasisme khususnya di Jerman, dan sikap dari pemerintah
kolonial yang kurang memperhatikan rakyat Indonesia. Pembentukan federasi
pada mulanya diusulkan oleh PSII pada bulan April 1938 dengan pembentukan Badan
Perantara Partai Politik Indonesia (Bapepi). Oleh karena pembentukannya kurang
lancar, Parindra mengambil inisiatif untuk membentuk kembali Konsentrasi
Nasional. Parindra berpendapat bahwa perjuangan konsentrasi nasional haruslah
memenuhi dua hal. Pertama bersifat ke dalam, yaitu dapat menyadarkan dan
menggerakkan rakyat untuk memperoleh suatu pemerintah sendiri. Kedua bersifat
ke luar, yaitu dapat menggugah pemerintah Belanda untuk menyadarkan cita-cita
bangsa Indonesia dan kemudian memberikan perubahan-perubahan dalam pemerintahan
di Indonesia. Kemudian diadakanlah pendekatan dan perundingan dengan PSII,
Gerindo, PII, Pasundan, Persatuan Minagkabau, Partai Katolik. Hasil dari
pendekatan dan perundingan itu adalah terbentuknya GAPI.
Dalam rapat itu juga ditegaskan anggaran dasar dalam GAPI
sehingga nantinya tidak timbul kekacauan. Anggaran dasar yang penting adalah
ditegaskan bahwa masing-masing partai yang tergabung dalam GAPI tetap punya
kemerdekaan penuh terhadap program kerjanya, dan bilamana timbul perselisihan
antara partai-partai maka GAPI akan jadi penengahnya. Dalam anggaran dasarnya
juga dijelaskan dasar-dasar dari GAPI, yaitu hak untuk menentukan diri sendiri;
persatuan dari seluruh bangsa Indonesia yang berdasarkan pada kerakyatan dalam
paham politik, ekonomi, dan sosial; dan persatuan aksi seluruh pergerakan
Indonesia. Sementara itu, GAPI dipimpin oleh Muhammad Husni Thamrin, Mr. Amir
Syariffudin, dan Abikusno Tjokrosuyoso.
AKSI GAPI
GAPI pertama kali mengadakan konferensi pada 4 Juli
1939, dimana isinya membicarakan aksi GAPI yang bersemboyan “Indonesia
Berparlemen.” Aksi pertama GAPI ini bertujuan membentuk suatu parlemen yang
berdasarkan pada sendi-sendi demokrasi. Untuk mencapai tujuan dari aksi
tersebut dan seiring dengan gentingnya situasi Eropa pada saat itu, maka pada
20 September 1939 GAPI mengeluarkan pernyataan yang dikenal sebagai Manifest GAPI.
Isi dari pernyataan itu adalah mengajak rakyat Indonesia dan Belanda untuk
bekerjasama menghadapi bahaya Fasisme, dimana kerjasama itu akan lebih berhasil
bila rakyat Indonesia diberikan hak-hak baru dalam urusan pemerintahan. Cara
dari kerjasama itu adalah membentuk suatu pemerintahan dengan parlemen yang
dipilih dari dan oleh rakyat, dimana pemerintahan tersebut bertanggung jawab
kepada parlemen.
Untuk mendukung aksinya dan mendapat dukungan, GAPI
mengadakan beberapa kegiatan. GAPI mengadakan rapat-rapat umum yang puncaknya
terjadi pada 12 Desember 1939, yaitu dimana tidak kurang 100 tempat di
Indonesia mengadakan rapat mempropagandakan tujuan GAPI. Aksi dari GAPI ini
mendapat reaksi positif dari pers, dimana mereka memberitakan secara panjang
lebar tentang GAPI dan sikap beberapa negara Asia dalam menghadapi bahaya
Fasisme.
GAPI juga membentuk Kongres Rakyat Indonesia atau KRI dan
selanjutnya Comite Parlemen Inonesia. KRI diresmikan pada 25 Desember 1939 di
Jakarta dalam Kongres Rakyat Indonesia pertama. Tujuan dari KRI adalah
Indonesia Raya yang bertemakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia dan
kesempurnaan cita-citanya, dengan sasaran pertamanya adalah Indonesia
berparlemen penuh. KRI juga menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu
penetapan Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya sebagai bendera dan lagu
persatuan Indonesia, serta peningkatan pemakaian bahasa Indonesia dalam kehidupan
bermasyarakat. Comite Parlemen Indonesia sendiri dibentuk dengan maksud untuk
lebih meningkatkan aksi-aksi GAPI, dimana panitia-panitia di daerah dianjrkan
mengadakan kursus-kursus dan rapat-rapat tertutup untuk meyakinkan rakyat akan
kewajibannya bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa.
RESPON DARI PEMERINTAH BELANDA PADA GAPI
Tuntutan dari GAPI sendiri mendapat respon dari
pemerintah Belanda. Tuntutan GAPI sendiri sempat dibicarakan dalam Tweede
Kamer, yaitu pembahasan anggaran belanja Hindia, pada 26 Februari sampai 6
Maret 1940 dan hanya mendapat dukungan dari Social Demokratische Arbeiders
Partij (SDAP) serta penolakan dari partai-partai lain. Pers di Belanda juga
umumnya menolak dengan alsan belum waktunya. Hal yang baik adalah partai-partai
dan pers di Belanda berpendapat bahwa perlu diadakan perubahan-perubahan di
dalam pemerintahan di Indonesia mengngat keadaan Internasional yang memburuk.
Pada bulan Agustus 1940, ketika negeri Belanda telah
dikuasai oleh Jerman dan Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang.
GAPI kembali mengeluarkan resolusi yang menuntut diadakannya perubahan
ketatanegaraan di Indonesia dengan menggunakan hokum tatanegara dalam masa
genting (nood staatsrecht). Isi resolusi yaitu mengganti Volksraad
dengan parlemen sejati yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, merubah
fungsi kepala-kepala departemen (departemenshoofden) menjadi menteri
yang bertanggungjawab kepada parlemen tersebut. Resolusi ini dikirimkan kepada
Gubernur Jenderal, Volksraad, Ratu Wilhelmina dan kabinet Belanda di London.
Menghadapi tuntutan itu, atas persetujuan pemerintah
dibentuklah Commisie tot bestudeering van staatsrechtelijke hervorminogen atau
komisi untuk menyelidiki dan mempelajari perubahan-perubahan ketatanegaraan.
Komisi yang dikenal sebagai Komisi Visman ini dibentuk pada 14 September 1940.
Komisi ini sendiri bertugas untuk mengumpulkan bahan-bahan apa yang menjadi
keinginan dari Indonesia.
REAKSI BALIK GAPI DAN AKHIR GAPI
Pembentukan Komisi Visman ini sendiri tidak begitu
disetujui oleh kaum pergerakan. Mereka melihat pengalaman pada tahun 1918,
dimana pernah dibentuk komisi serupa yang tidak menghasilkan apa-apa bagi
rakyat Indonesia. GAPI sendiri mengumumkan bahwa anggota-anggota GAPI untuk
tidak dibenarkan memberikan pendapat sendiri-sendiri kepada Komisi Visman. Hal
ini bertujuan untuk menghindari ketidaksatuan pendapat dalam menghadapi Komisi
Visman. Belakangan, sikap GAPI melunak setelah mendapat undangan resmi dari Komisi
Visman. Sementara, beberapa anggota Volksraad mengajukan mosi yang lebih
ringan, yaitu mengadakan kerjasama antara pemimpin Indonesia dan Belanda.
GAPI berusaha agar tuntutannya didengar. Wakil-wakil
GAPI dan Komisi Visman sempat mengadakan pertemuan di gedung Raad van Indie
pada 14 Februari 1941. Tujuan awal dari pertemuan itu awalnya adalah
menyampaikan tuntutan GAPI, tapi ternyata pertemuan ini tiedak menghasilkan
sesuatupun, malah pertemuannya sendiri yang ramai dibicarakan kalangan
pergerakan sehingga muncul anggapan GAPI tidak lagi radikal. Keinginan GAPI
agar tuntutannya didengar sempat mendapat harapan saat menteri jajahan Welter
dan van Kleffens datang berkunjung ke Indonesia pada April 1941. Kunjungan itu
berubah menjadi sebuah kekecewaan karena Welter tidak memberikan solusi ke arah
perubahan ketatanegaraan.
Harapan bagi GAPI benar-benar hilang saat Ratu Wilhelmina
mengadakan pidato di London dan pidato dari Gubernur Jenderal di Volksraad
mengenai masa depan Indonesia. Situasi internasional yang memburuk akibat
Perang Dunia II juga membuat pemerintah kolonial memperketat izin mengadakan
rapat-rapat. Setelah itu rakyat Indonesia diberikan peraturan wajib bela atau
inheemse militie.
No comments:
Post a Comment